Logo

INFODEMIK versus Pandemik Covid-19

Priyowidodo, Gatut (2020) INFODEMIK versus Pandemik Covid-19. [UNSPECIFIED]

[img] PDF
Download (494Kb)
    [img] PDF
    Download (970Kb)

      Abstract

      INFODEMIK versus Pandemik Covid-19 Oleh Gatut Priyowidodo, Ph.D “We’re not just fighting an epidemic; we’re fighting an infodemic”, said WHO Director- General Tedros Adhanom Ghebreyesus at the Munich Security Conference on Feb 15, 2020. Kutipan pernyataan Tedros Adhanom Ghebreyesus di atas menegaskan bahwa WHO (World Health organization) adalah organisasi yang paling kesulitan mengelola informasi ditengah maraknya Pandemik Covid-19. Selain, ia menjadi sentral informasi dan rujukan utama setiap negara untuk bagaimana mengambil sikap yang tepat setelah tahu betapa bahayanya sebaran virus Korona ini, pada saat yang bersamaan WHO sendiri menghadapi serangan informasi sesat yang luar biasa. Perkembangan terkini virus mematikan ini sudah menyebar di 210 negara di dunia. (https://www.worldometers.info/coronavirus/). Tuduhan bahwa Covid-19 adalah hasil gagal konspirasi Cina dan WHO begitu keras di alamatkan kepada Badan Kesehatan Dunia ini (Vidon, 2020). Donald Trump menuduh, bahwa WHO main-main dengan menyamakan bahaya virus Korona sama dengan flu biasa. Reaksinya US $ 400 juta konstribusi AS akan disetop atau minimal dipending. Sebagai organisasi yang sangat bergantung dari iuaran anggota, tentu kabar itu ibarat semburan bisa ular piton yang mematikan Antoneo Guterres, Sekjen PBB cepat-cepat merespon jika saat ini tidaklah waktu yang tepat untuk memotong anggaran. Diperlukan kesatuan langkah untuk bersama-sama memerangi keganasan virus ini. Bahkan Lawrence Gostin, seorang mahaguru Global Health di Georgetown University mengatakan, bahwa tanpa WHO yang kuat, maka akan semakin banyak manusia yang tewas, tidak hanya di sub Sahara Afrika tapi imbasnya juga di AS (https://www.theguardian.com/world/2020/apr/14/). Konsep Infodemik Belum lama ini saya membaca sebuah artikel yang cukup menarik ditulis oleh Warren Fernades, Pemimpin Redaksi The Straits Times dan President of the World Editors Forum yang berjudul: “Credible Media vital in fight against coronavirus and epidemic of fake news” yang dimuat TST, 9 April 2020. Ternyata infodemik diserupakan artinya dengan penyebaran informasi yang salah yang bisa merusak kepercayaan publik pada saat yang genting. Jauh sebelum itu konsep infodemik tahun 2010 sudah ditambahkan dalam kamus Wiktionary yang diartikan sebagai istilah informal terkait melimpahnya informasi yang berlebihan tentang suatu masalah tetapi sulit ditemukan solusinya. Dua tahun sebelumnya Erni (2008) menulis artikel akademis dalam Studi Budaya Antar Asia yang meneliti SARS juga memunculkan istilah infodemik. Tapi lagi-lagi apa arti konsep itu tidak terlalu dielaborasi. Infodemik hanya dimaknai parallel dengan keberhasilan media dalam menceriterakan krisis SARS. Fenomena lain yang turut memperjelas konsep infodemik naik pamor adalah ketika tahun 2015 ramai pemberitaan tentang sindrom virus Zika (CZVS). Seorang fotographer Brasil yang bekerja untuk The Associated Press, berhasil memotret Jose Wesley yang berumur empat bulan yang dimandikan ibunya Solange Ferreira di dalam sebuah ember. Seorang bayi kecil yang mengalami kerusakan neurologis, terhenti pertumbuhannya. Sehingga ketika lahir cacat serta menyebabkan bayi itu lahir dengan kepala kecil dan tidak normal. Berita itupun menjadi viral oleh beragam platform media social. Satu berita telah diamplifikasi ke banyak media. Bahwa berita itu kebenarannya perlu diverifikasi, tidak terlalu dipusingkan. Atas dasar semua itu lalu konsep infodemik itu apa? Infodemik tidak lain adalah melimpahnya informasi yang salah serta sulit ditangani karena terlanjur menyebar ke publik. Jelas sekarang, ternyata ketika bencana pandemik Korona merebak, semarak pula beragam berita aspal atau abal-abal berupaya menyusuf sebagai berita seolah-olah penting dan bermanfaat. Kepakaran telah runtuh seperti yang disinyalir Thomas M. Nichols (2017) melalui The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters. Kemajuan teknologi dan membaiknya level pendidikan serta tersedianya beragam kebutuhan informasi melalui WebMD dan Wikipedia mendorong setiap orang seolah-olah menguasai pengetahuan sekelas doktor. Inilah kondisi yang sekarang terjadi. Mencermati trafik lalu lintas yang begitu padat di media sosial, tidak jarang kitapun terjebak untuk mengkonsumsi aneka informasi yang entah dari mana sumbernya, seolah itu tidak penting lagi. Bahkan jika diantara kita aktif di twitter, maka apapun latar belakang pendidikan dan penguasaan pengetahuan kita, sangat tidak penting lagi. Orang bisa mengolok-olok dan memperlakukan kita sekehendak hatinya bila posisi kita kontra. Nach dalam situasi seperti saat ini narasi apapun yang diproduksi oleh Pemerintah jika posisinya adalah oposan, hampir-hampir semua yang dilakukan negara salah. Aturan karantina wilayah, PSBB, istilah mudik dan pulkam atau apapun pasti direspon penuh kebencian dan penolakan. Meskipun sudah berdarah-darah upaya maksimal yang dilakukan negara masih juga terasa tidak cukup. Sebagai tandingannya, disebarkanlah beraneka berita bohong yang bermuara upaya delegitimasi kewenangan sah yang dimiliki oleh penguasa saat ini. Apa yang dialami WHO dalam skala global, Pemerintah Indonesia dalam skala nasional serta Pemerintahan Provinsi, Kabupaten/Kota dalam sekala regional dan lokal hampir sama. Barisan sakit hati di masyarakat tetap berupaya keras mendekonstruksi apapun kerja produktif pemerintah guna menggerus simpati publik. Tidak penting apakah saat ini kondisi negara sedang emerjensi atau tidak yang penting ‘capital gain’ di bidang politik tetap dipetik. Maka musuh besar Pemerintah bukan saja bagaimana menaklukan jurus mematikan virus Korona, tetapi juga kekuatan logistik (rakyat ) yang tidak satu pemahaman. Dilarang mudik karena berpotensi sebagai ‘carrier’ penyebaran virus di daerahnya. Tetap saja ‘ngeyel’ dan mudik. Jangan beribadah rame-rame ditempat ibadah. Tetap saja dilawan dengan narasi, mengapa harus menjauh dari rumah Allah. Jangan berhimpun dalam skala besar, tetap saja tidak mau patuh. Maka tidak heran hingga hari ini, jumlah korban pada semua level pemerintahan setiap hari semakin bertambah. Bahwa ada yang sembuh, itupun tetap harus diapresiasi, sebagai bukti riil jika Pemerintah sedang berupaya keras agar rakyat jangan semakin bertambah banyak yang menjadi korban. Angkat topi untuk lini terdepan perang melawan Covid-19, mereka adalah petugas kesehatan, dokter, perawat, TNI/Polri dan BNPB. Mereka habis-habisan berkorban sesuai bidang tugasnya. Namun musuh lain yang menusuk dari belakang adalah para penyebar berita sesat yang senang jika Indonesia gagal menangani krisis yang super berat ini. Ironisnya, mereka justru menembak Jatim dan Jakarta sebagai target market-nya, karena terkategori zona merah, agar memicu kepanikan massal. Melawan Pandemik Covid-19 Serangan lain yang memerlukan kekuatan ‘full team’ adalah pandemic virus Korona ini. Harus diakui, belum ada anti virus yang diproduksi massal. Bahwa Israel misalnya sudah mendeklarasikan dirinya berhasil menemukan vaksin dibawah riset ilmuwan bioteknologi Israel yang dikepalai Dr. Chen Katz, dari MIGAL (The Galilee Reseach Institute) sepertinya juga masih harus ditunggu dengan sabar. Sebab hasil riset tersebut baru terbukti jika sudah diproduksi secara massal, begitu yang dilaporkan The Jerusalem Post, 27 February 2020. (https://www.jpost.com/HEALTH-SCIENCE/Israeli-scientists-In-three-weeks-we-will-have-coronavirus-vaccine-619101). Artinya jalan menuju terselesaikannya wabah besar-besaran ini masih berliku dan panjang. Entah sampai kapan. Politisi, ilmuwan atau cerdik pandai semua berharap-harap cemas, agar semua segera berakhir dan aktifitas kehidupan bisa normal kembali. Jika menengok sejarah, pandemik ini sebuah kejadian langka yang berulang setiap 100 tahunan. Misalnya tahun 1720 - Wabah; 1820 - Wabah kolera; 1920 - Flu Spanyol; 2020 - Coronavirus Cina. Empat pandemik yang tercatat ini, semua menakutkan. (https://www.statesman.com/news/20200410/). Wabah, 1720, ditandai dengan demam menular yang disebabkan oleh bakteri yang ditransmisikan dari tikus ke manusia oleh gigitan kutu yang terinfeksi, menyebabkan beberapa pandemi terburuk dalam sejarah, menurut Britannica.com. Wabah Besar Marseille, menewaskan sebanyak 126.000 orang di Prancis selatan mulai tahun 1720. Wabah Kolera, 1820. Tercatat pertama kali menyebar dari Calcutta di sepanjang Delta Gangga pada tahun 1817, itu telah membunuh jutaan orang, kata Robert Wood Johnson Foundation, yang mendukung penelitian dan program kesehatan. Berikutnya flu Spanyol. Pandemi “disebabkan oleh virus H1N1 dengan gen asal burung. Meskipun tidak ada konsensus universal mengenai dari mana virus itu berasal, ia menyebar ke seluruh dunia selama 1918-1919, ”menurut CDC. “Di Amerika Serikat, pertama kali diidentifikasi dalam personel militer pada musim semi 1918. Diperkirakan sekitar 500 juta orang atau sepertiga populasi dunia terinfeksi virus ini. Jumlah kematian diperkirakan setidaknya 50 juta di seluruh dunia dengan sekitar 675.000 terjadi di Amerika Serikat. Itu disebut flu Spanyol bukan karena itu berasal dari Spanyol tetapi karena itu adalah Perang Dunia I, dan Spanyol adalah satu-satunya negara yang jujur tentang korban pandemi terhadap negara itu. Fakta historis di atas membuktikan bahwa di luar perang dan bencana alam, manusia ternyata sangat rentan terhadap makluk pembunuh yang tidak kasat mata tersebut. Mikro bakteri yang bermutasi ke tubuh manusia memiliki dua karakter, jahat dan baik. Seolah itu juga pesan terselubung bahwa manusia sejatinya juga mengidap karakter baik dan jelek. Pihak mana yang dominan di dalam diri kita, itulah yang mencerminkan kedirian kita. Jatidiri sesungguhnya siapa kita terefleksi dalam tata rasa, tata pikir dan tata laku kita. Namun kelebihan manusia adalah dia mampu melakukan manipulasi karakter sesuai panggung pertunjukan. Manusia piawai dalam bermain watak dalam sandiwara kehidupan. Erving Goffman (1959) menyebut dalam bukunya Presentation of Self in Everyday Life sebagai bentuk dramaturgi. Itulah sebabnya manusia bisa bermain watak ketika lingkungan menghendaki peran sosial tertentu yang mesti dimainkan. Maka jangan heran, jika nasehat Abrahan Lincoln ini benar adanya, ia mengatakan; “Hampir semua orang dapat menanggung kemalangan, tapi jika Anda ingin menguji watak manusia, coba beri dia kekuasaan”. Di situlah karakter atau watak sesungguhnya manusia itu terlihat. Semoga dimasa Pandemik Covid-19 ini watak-watak berbudi luhurlah yang terus terpancar keluar dari hati sanubari kita yang paling dalam. Daftar Pustaka Fernandez, W. (2020). “Credible media vital in fight against coronavirus and epidemic of fake news.” www.straitstimes.com, 9 April 2020. <https://www.straitstimes.com/opinion/credible-media-vital-in-fight-against-coronavirus-and-epidemic-of-fake-news-0> diakses 29 April 2020. Hoffman, M.J. (2020). “Israeli scientists: In a few weeks, we will have coronavirus vaccine Once the vaccine is developed, it will take at least 90 days to complete the regulatory process and potentially more to enter the marketplace”. <https://www.jpost.com/HEALTH-SCIENCE/Israeli-scientists-In-three-weeks-we-will-have-coronavirus-vaccine-619101> diakses 28 April 2020. Kertscher, T. (2020). “Fact-check: Has a pandemic occurred every 100 years?” www.statesman.com. 10 April 2020. <https://www.statesman.com/news/20200410/fact-check-has-pandemic-occurred-every-100-years> diakses, 29 April 2020. Nichols, T.M.(2017). The Death of Expertise: The Campaign against Established Knowledge and Why it Matters. New York: Oxford University Press

      Item Type: UNSPECIFIED
      Additional Information: Artikel
      Subjects: H Social Sciences
      Divisions: Faculty of Communication Science > Communication Science Department
      Depositing User: Admin
      Date Deposited: 31 Aug 2020 14:39
      Last Modified: 31 Aug 2020 22:18
      URI: https://repository.petra.ac.id/id/eprint/18864

      Actions (login required)

      View Item