Logo

E-Learning dan Solusi Ampuh Belajar di Era Pandemik

Priyowidodo, Gatut (2020) E-Learning dan Solusi Ampuh Belajar di Era Pandemik. [UNSPECIFIED]

[img] PDF
Download (207Kb)
    [img] PDF
    Download (847Kb)

      Abstract

      E-Learning dan Solusi Ampuh Belajar di Era Pandemik Gatut Priyowidodo, Ph.D. Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Satu minggu atau dua minggu sebelum Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dimaklumatkan oleh pihak kampus, saya ngobrol ringan di lantai 6 Gedung Q bersama dengan rekan-rekan satu ruangan. “Ada nggak di antara kawan-kawan ini yang menggunakan Lentera untuk e-Learning?” Serentak mereka yang ada di ruang tersebut menjawab, “Ndak pak. Lentera kok fitur-fiturnya kurang asyiik yaaa. Saya biasa gunakan Google Meet atau Google Classroom, lebih nyaman dan mudah untuk mahasiswa.” Sama sekali saya tak berpikir bahwa fasilitas e-learning Lentera kalah afdol dengan Google Meet atau Zoom sekalipun, sebab di Lentera saya sudah tercatat melakukan First access to site pada Thursday, 2 April 2015, 9:17 AM. Artinya sudah lima tahun lebih coooy. Dan profil data baru saya perbarui lagi di awal tahun 2020 ini. Dibilang saya sudah melakukan pembiaran aplikasi e-learning bertahun-tahun. Memang Lentera tidak saya gunakan. Saya beralih ke Edmodo. Beberapa semester saya aktif menggunakan Edmodo. Lama-lama jenuh dan ingin variasi. Kembali saya lirik untuk memaksimalkan Lentera. Pikir saya sederhana: ingin mencoba milik internal UK Petra. Rupanya semangat untuk balik ke Lentera kalah dengan promosi asisten dosen (asdos). “Coba dulu Google Classroom, pak. Asyiiik!!” Waah keteguhan hati saya goyah juga. Tanpa pikir panjang, mereka memberi training super kilat di Collaborative Room, gedung Perpustakaan lantai 5. Sekitar dua jam kami bertemu dan semua oke. Padahal pada waktu yang sama sebetulnya saya juga sudah mendaftar ikut pelatihan yang diadakan oleh Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi (PTIK) UK Petra. Beruntung saya memiliki asdos generasi milenial yang cepat tanggap dan cekatan. Sungguh saya tak punya firasat bila e-learning ini akan menjadi sebuah keniscayaan sejarah. Menjadi alternatif model PJJ karena dunia sedang diserang dari segala penjuru mata angin oleh virus Korona, sehingga mahasiswa belajar di rumah dan dosen mengajar dari rumah. Kami mengalami pembelajaran yang serba baru. Bertemu dalam virtual class dengan mahasiswa yang entah bagaimana kondisinya. Apakah mereka sudah mandi, sarapan atau baru bangun, dosen sama sekali tidak tahu. Yang penting, mereka hadir. Minggu kedua, ada sedikit pengalaman di mana ada mahasiswa yang hadir di kelas daring sambil tidur-tiduran dan mengobrol melalui gawainya; terlihat di monitor Google Meet yang tidak di-off. Merasa ketahuan sang mahasiswa dengan mengiba meminta maaf. Pengalaman lainnya, ketika nama mahasiswi dipanggil langsung menjawab dan menyalakan kamera. Tampak wajahnya dengan rambut acak-acakan. Ia mengaku baru bangun tidur dan belum sempat mandi. Kelas berikutnya, ada mahasiswa yang dipanggiil beberapa kali namun tidak merespon. Begitu pula halnya ketika dipanggil oleh teman-temannya. Tetap juga tidak menjawab. Baru beberapa saat kemudian dia merespon. Ternyata aplikasi Google Meet tetap on, sementara dia sendiri keluar ruangan untuk melakukan aktifitas lainnya. Sungguh PJJ membuat mahasiswa/i bisa serius seperti di kelas, tapi juga bisa melakukan ‘rekayasa teknologi kehadiran’ dengan seolah-olah hadir di kelas tetapi melakuka kegiatan yang laiinnya. Tidak masalah. Itulah kelebihan dan kekurangan yang mesti kita terima. Sejatinya, sudah sejak lama ide e-learning akan saya maksimalkan sekedar untuk variasi pertemuan kelas tatap muka . Sekiranya nanti ketika bertugas di luar kota selaku asesor Badan Akreditasi Nasional – Perguruan Tinggi (BAN-PT) saya tetap akan masih bisa bertatap muka secara virtual dengan mahasiswa. Hak mahasiswa tidak terkurangi dan satu-dua pertemuan bisa dilakukan secara daring. Jujur pengalaman berharga ini saya dapatkan dari rekan dosen di Jakarta, yang berada dalam satu konferensi di Nagoya, Jepang pada tahun 2019 lalu. Meski ia di Jepang dia tetap mengajar beberapa kelas yang ada di Makassar, Malang, dan Jakarta secara daring. Tugas-tugas pun diberikan tanpa kendala ruang dan waktu. Pengalaman bertemu dengan kolega dari Jakarta itu adalah faktor afirmasitif. Jauh sebelumnya dalam setiap sesi visitasi lapangan di beberapa perguruan tinggi, e-learning sudah jamak menjadi bahan diskusi meski belum semua menjalankannya secara optimal. Sebuah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Medan dan sebuah universitas di Jakarta yang pernah saya visitasi sudah menjalankan e-learning secara cukup maju. Bahkan PTS tertua di JakartaMedan ini sudah menjalin kerja sama sebagai Cyber University dengan Universitas di Korea Selatan. Kelebihan dan Kekurangan Saya mengampu mata kuliah (MK) Komunikasi Politik bersama dua asdos, yakni Vellycia Njoko, S.I.Kom., M.Si. dan Glory Elisabeth Victory, mahasiswa semester akhir yang saat ini sedang riset tentang Resepsi Majalah Balirung Universitas Gadjah Mada (UGM). Minus dudua minggu waktu untuk Ujian Akhir Semester (UAS), minggu pertama dan keempat April 2020 kelas ini sudah berkuliah enam kali melalui kelas daring. Kelas ini terdiri atas tiga kelas paralel, yaitu kelas A, B, dan C. Suasana asyik dan nyaman-nyaman saja, karena kelas hanya berpindah ruang saja. Diskusi interaktif di antara mahasiswa dengan dosen juga berjalan lancar. Bahkan ada kelebihannya, yaitu bila suatu materi perlu contoh langsung dengan mudah kita bisa memperlihatkan contoh-contoh tersebut dari media. Hal lain, mahasiswa tidak bisa lagi beralasan terlambat ketika kelas akan dimulai. Memang keterlambatan beberapa menit tetap kita toleransi ketika ada kendala teknis untuk ‘join class,’ tapi sejuh ini semua berjalan lancar. Selain itu, solidaritas mahasiswa sepertinya tetap terbangun. Misalnya ketika ada rekan mereka yang belum hadir di kelas daring, dengan tangkas mereka mengatakan masih on the way (OTW) pak.” “Ah ... otw dari mana ke mana?” tanya saya. Sebab semua di rumah. Mereka pun tertawa bersama. Tetapi dukungan mereka saya anggap baik. Dengan cepat mereka pun saling konfirmasi via LINE atau Whatsapp (WA) bahwa kelas segera dimulai dan agar yang lain cepat bergabung. Satu-dua menit berselang mereka pun sudah bergabungdatang. . Perilaku konvensional yang tetap dijalankan adalah misalnya ketika mahasiswa akan meninggalkan tempat karena akan ke toilet. Mereka tetap memberi informasi melalui fitur chat bahwa mereka ijin keluar sebentar. Persis ketika pembelajaran dilaksanakan di kampus gedung Q. Lalu kelemahannya apa? Jujur ketika mahasiswa beraktifitas lain namun tidak menginformasikannya, dosen tidak bisa melakukan monitoring. Bahkan seperti yang saya singgung di atas, jika aplikasi tetap on namun mereka meninggalkan class meeting tanpa pemberitahuan, itu pun tidak dapat terdeteksi. Namun apa pun kekurangan itu, yang jelas PJJ di era pandemik saat ini tetap adalah jalan terbaik. Bahwa aktifitas pembelajaran tetap berlangsung dengan segala keterbatasan yang ada. Feedback Mahasiswa Sejauh yang disampaikan oleh mahasiswa, PJJ adalah solusi alternatif yang positif di tengah instruksi untuk melakukan ‘physical distancing’ dan ‘social distancing’ dari pihak pemerintah. Menjaga jarak untuk turut mencegah percepatan penyebaran virus Korona ternyata bisa disiasati dengan kamajuan teknologi informasi. Yang menarik, jauh sebelum Surabaya menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang efektif per 28 April 2020, ternyata banyak mahasiswa yang sudah pulang kampung. Tentu hal ini berbeda dengan mudik, seperti yang dikacaukan pengertiannya oleh beberapa pihak. Mereka benar-benar pulang kampung, seperti penjelasan Pak Jokowi, karena rumah mereka memang di kota asal mereka masing-masing. Sementara di Surabaya mereka hanya tinggal secara temporer selama studi. Maka ketika kelas berlangsung mereka pun saling berbagi kabar di forum chat kelas tentang kondisi yang terjadi di kotanya masing-masing. Ada yang tinggal di Yogya, Bali, Samarinda, Banyuwangi, Jember, Sidoarjo, Solo, Kupang, dan beberapa kota yang lain. Kabar mereka ada yang faktual, ada yang sekedar candaan. Seperti Amandaelia dari Kupang yang mengatakan, “Waaah ... di Kupang lagi hujan es ... ha ha.” Ketika dikonfirmasi apakah memang benar bahwa di Kupang sedang terjadi hujan es, mereka pun dengan cepat merespon; “Tidak pak ...” Aah ... itulah gaya seloroh prank anak milenial. Meski kelas Komunikasi Politik adalah yang topiknya serius, tetapi jika ada yang celometan di kelas maka selaku dosen, saya tidak pernah memberi sanksi. Mereka banyak yang sudah paham bahwa pasti saya akan memberi reward berupa kewajiban menyanyi di akhir kelas bagi siapa yang celometan. Hal itu merupakan hiburan tersendiri, menutup kelas dengan menyanyi. Mereka pun saling merekam untuk kemudian dibagikan ke akun media sosialnya. Nah, candaan mereka di kelas daring pun, kata kawan-kawan mereka, juga harus diperlakukan sama. “Nyanyi pak, nyanyi pak,” seru mereka dengan semangat. Namun hingga saat ini, saya belum sampai hati untuk memenuhi permintaan mereja. Entah nanti!! Hikmah dan Harapan ke Depan Ketika karena keadaan kita semua dipaksa untuk menjalankan PJJ sebagai solusi yang ampuh dan konstruktif tentu hikmahnya besar. Terlebih di tengah badai pandemi COVID-19 yang hingga tulisan ini saya revisibuat, per 21 Mei 30 April 2020, sudah menelan lebih dari 5,13,2 juta orang terinfeksi dengan total lebih 32289 ribu orang tewas. Khusus di Indonesia sudah mencapai angka sudah hampir 1200800 orang meninggal dunia dan lebih dari sesembilan belas puluh ribu orang tepaparrinfeksi (https://www.worldometers.info/coronavirus/#countries). Sejujurnya, fakta dan data di atas memberi ruang kontemplasi dan refleksi bagi kita semua. Bahwa sebuah sistem yang dibangun dengan perencanaan yang matang sekali pun bisa ambyar tatkala muncul faktor X sebagai perusak yang unpredictable. Siapa yang pernah menyangka jika virus bermahkota yang muncul di Wuhan, Cina pada bulan Desember 2019 itu kemudian mampu meluluh-lantakan imunitas tubuh bahkan perekonomian dunia? Dunia tidak hanya dihadapkan pada masa depan yang suram serta serba penuh ketidak-pastian, tetapi juga ketidak-jelasan akan berapa lama kondisi ini akan berlangsung. Beberapa negara, termasuk Indonesia, sudah dibayang-bayangi pertumbuhan ekonomi yang minus. Itu artinya hidup akan terasa sulit. Pengangguran akan semakin meningkat, gap kaya-miskin kian terasa lebar. Dampaknya ke dunia pendidikan, terutama perguruan tinggi swasta, adalah akses pendidikan yang akan terasa mahal serta tidak didukung oleh kemampuan ekonomi akibat tergerusnya daya beli dan belanja masyarakat. Apa pun yang terjadi, kita tidak boleh menyerah dan kehilangan pengharapan. Setiap peristiwa yang kita alami mengirim pesan, tanda, dan lambang yang patut dielaborasi lebih dalam lagi. Ketika manusia dijuluki sebagai makluk sosial, tiba-tiba relasi dan interaksi manusia dipaksa agar anti sosial dengan kampanye ‘social distancing.’ Mau tidak mau kita harus bisa menerimanya sebagai pola relasi dan interaksi yang baru. Ketika manusia terbiasa memberi salam berupa jabatan tangan, tiba-tiba salam harus berjarak tanpa menyentuh. Ngobrol bareng sebagai simbol keakraban kini bisa memancing polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) marah-marah dan membuyarkan obrolan. Semua itu harus bisa kita maklumi, karena semua reaksi tersebut bermuara kepada upaya agar penyebaran virus korona bisa dicegah atau minimal diperlambat. Relasi sosial telah dipaksa oleh keadaan untuk menuju tingkat hubungan yang serba baru. Tidak menjawab salam bukan berarti benci. Tidak pulang kampung tidak berarti gugurnya tali silahturahmi, melainkan kita semua diminta untuk waspada dan berhati-hati. Bahkan yang lebih seru, segala bentuk peribadatan yang mengumpulkan massa juga mengalami dekonstruksi. Tidak bisa lagi kita bertemu tatap muka di gereja, kebaktian keluarga, atau ibadah Persekutuan Doa. Semua harus dilangsungkan dalam bentuk ibadah live streaming atau direkam terlebih dahulu. Pola relasi beragama pun tidak berbeda jauh dengan proses belajar mengajar di kampus atau di sekolah. Semua harus ditarik kepada pola-pola interaksi yang wajib disesuaikan dengan keadaan terkini. Sampai kapan hal ini akan berlangsung? Tidak seorang pun yang tahu. Laju penyebaran virus di bebarapa negara memang sudah landai, tetapi di beberapa negara yang lain lajunya masih cepat sekali. Apa pun yang kita alami, patutlah kita tetap ingat nasihat nabi Nahum: “Tuhan itu baik; Ia adalah tempat pengungsian pada waktu kesusahan; Ia mengenal orang-orang yang berlindung kepada-Nya.” (Nahum 1:7)

      Item Type: UNSPECIFIED
      Additional Information: Artikel
      Subjects: H Social Sciences
      Divisions: Faculty of Communication Science > Communication Science Department
      Depositing User: Admin
      Date Deposited: 31 Aug 2020 16:03
      Last Modified: 31 Aug 2020 22:18
      URI: https://repository.petra.ac.id/id/eprint/18863

      Actions (login required)

      View Item