Priyowidodo, Gatut (2023) SERVICE LEARNING DAN PENGALAMAN PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MARGINA. Ilmiah . PT RajaGrafindo Persada- Rajawali Pers. ISBN 978-623-372-837-9
PDF Download (6Mb) | |
PDF Download (4093Kb) |
Abstract
Kegiatan Service Learning (SL) mengalami perluasan makna. Semula SL didesain hanya terfokus pada kegiatan perkuliahan yang kemudian diaplikasikan kedalam dunia praktik bersama masayarakat. Namun dalam konteks ini, SL dipahami sebagai aktivitas rutin yang dilakukan oleh setiap insan akademik sebagai implementasi dari Tridharma Perguruan Tinggi. Wujudnya bisa beragam tetapi intinya satu yakni pemberdayaan masyarakat. Aktivitas pemberdayaan masyarakat sejatinya juga aksi lanjutan dari apa yang dikuasai di kelas kemudian ditularkan kepada komunitas masyarakat tertentu. Artinya, semua kegiatan tidak jauh-jauh amat dari penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan ada manfaat praktisnya untuk lingkungan. Pertanyaannya, siapa yang diberdayakan? Tentu saja kelompok atau komunitas masyarakat yang secara keterampilan, teknologi, dan akses informasi masih kurang. Hadirnya sentuhan pemberdayaan diharapkan mampu berkontribusi menjadi instrumen pengungkit agar komunitas tersebut memiliki nilai tambah dalam berkegiatan. KATA PENGANTAR viii Service Learning dan Pengalaman Pemberdayaan Komunitas Marginal Tentu saja sentuhan pemberdayaan tidak serta-merta membuat segala sesuatunya berubah seketika. Konsep pemberdayaan sendiri menekankan pelibatan aktif antara kelompok yang diberdayakan dengan pihak yang berperan memberdayakan. Itu artinya dua pihak harus mengambil peran aktif. Tanpa kerja sama dan kolaborasi yang saling menopang satu sama lain, hasil optimal yang ditargetkan akan sulit dicapai. Pemberdayaan bukan konsep monoaksi dan monoaktor. Pemberdayaan pasti melibatkan kerja tim. Maka tim penyelenggara harus saling melengkapi satu sama lainnya. Keberhasilan adalah hasil kerja bersama. Namun jika terjadi kegagalan sepenuhnya itu tanggung jawab ketua tim di lapangan. Mengapa? Karena harus ada pihak yang berani mengambil resiko jika harus ada yang dipersalahkan. Namun demikian, ketidakberhasilan SL sebetulnya sangat mudah diantisipasi sepanjang ada kepatuhan terhadap tujuh norma-norma dasar SL. Apa itu? Pertama adanya Link to Curriculum yakni harus memiliki keterkaitan dengan satu disiplin atau multidisiplin keilmuan. Meaningful S-L yakni dosen diharapkan mentransformasi pembelajaran di kelas, menjadi sesuatu yang bermakna untuk komunitas yang diberdayakannya. Reflection yakni menuangkan dalam bentuk refleksi apa-apa yang sudah dilakukan. Diversity, memahami bahwa masyarakat memiliki keberagaman dan pendekatan solusi yang tidak tunggal. Partnership yakni kegiatan bisa berhasil bila memiliki mitra kerja. Progress, monitoring, duration dan evaluation, artinya setiap kegiatan yang diprogramkan, mesti dimonitoring dalam durasi tertentu yang pada akhirnya juga wajib dievaluasi (Kuntjara, et al., 2013). Jadi kegiatan SL ataupun abdimas adalah aktivitas pembelajaran praktikal yang memiliki respons umpan balik. Pihak kampus menawarkan satu kegiatan atau komunitas tertentu meminta intervensi pemberdayaan sifatnya adalah kolaboratif saling menguntungkan. Tidak boleh salah satu pihak merasa dieksploitasi untuk kepentingan pihak lain. Kedua belah pihak mesti merasa ada kebermanfaatan yang saling melengkapi.
Item Type: | Book |
---|---|
Additional Information: | Buku untuk pengayaan kegiatan SL |
Subjects: | H Social Sciences |
Divisions: | Faculty of Communication Science > Communication Science Department |
Depositing User: | Admin |
Date Deposited: | 20 Jan 2023 16:08 |
Last Modified: | 24 Jan 2023 15:36 |
URI: | https://repository.petra.ac.id/id/eprint/19882 |
Actions (login required)
View Item |